Budaya Tato atau rajah yang Masih Turun temurun, Budaya Kuno "Tato"

Seni Budaya - Budaya Tato atau rajah yang Masih Turun temurun, Budaya Kuno "Tato"

Berita budaya, Tato atau rajah dalam sejarah kebudayaan Indonesia bukan hal baru. Tradisi tato paling tua ditemukan pada Suku Mentawai di Pulau Siberut dan Suku Dayak di Kalimantan. Bagi kedua suku itu, rajah menunjukkan identitas pemilik. 

Majalah Tempo edisi 23 Maret 2009 pernah mengutip Ady Rosa, peneliti tato dari Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang. Dia menyebut tato Mentawai termasuk salah satu tertua di dunia, sejak 1.500-500 sebelum Masehi. Rajah Mentawai lebih tua dari tato Mesir yang diperkirakan dibuat pada 1.300 sebelum masehi. Bangsa Mentawai adalah suku protoMelayu dari Yunan, dengan pengaruh budaya Dongson. 

Istilah tato dalam bahasa Mentawai disebut titi, sedangkan pembuatnya dinamakan sopatiti. Menurut Adi Rosa, fungsi tato bagi orang Mentawai sebagai tanda wilayah atau suku, tato juga penanda status sosial mengarah pada pekerjaan, dan terakhir bentuk keindahan diekspresikan dalam tubuh. 

Mirip masyarakat Dayak. Seperti ditulis oleh A. Halim. R. dalam opini “Tato dan Eksistensi Budaya Dayak” di harian Pontianak Post edisi 3 Januari 2008. Dia menyebut tato sebagai ritual tradisional terkait peribadatan, kesenian, penanda kelompok sosial tertentu. 

Sedangkan rajah pada tubuh dianggap bentuk kesetiaan dan pertalian ikatan yang tidak bisa dipisahkan hingga mati. Motif tato pada kulit badan dipercaya bisa menangkal kejahatan, dan membawa keselamatan bagi penggunanya. 

Dari tradisi dua suku itu, M. Dwi Marianto, penulis buku “Tato” sekaligus dosen Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, menyebut tato peninggalan kebudayaan tradisional Indonesia, bentuk ekspresi seni pada tubuh. Marianto menyebut tradisi rajah dalam kedua suku itu bentuk struktur masyarakat dan sudah seperti pakaian bagi pemiliknya. 

Marianto mengatakan tato saat ini menjadi tren bagi anak muda, termasuk mahasiswa di kampusnya. “Tato mereka biasanya dalam ukuran bisa ditutup oleh baju dipakai,” katanya kepada merdeka.com kemarin siang.

Dari perbincangan dengan mahasiswa dan teman-temannya bertato, Marianto mengaku percaya tato itu bersifat adiktif alias menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya. Ada kebanggaan, meski menurut Marianto, pemilik rajah kadang tidak tahu makna gambar di badannya. 

Dari pengamatannya terhadap para pemilik tato bertahun-tahun, dia meragukan akan ada tren orang beramai-ramai menghapus tato. Justru menurut dia, jumlah orang ing bertato akan makin bertambah. “Saya tidak percaya orang menghapus tatonya secara total. Benar ada yang menghapus, namun bikin tato pada bagian tubuh lain, iya,” ujar Marianto.

Selain rasa kecanduan bagi pengguna tato, Marianto menyebut dia belum melihat cara mengilangkan tato secara permanen tanpa bekas kasar di kulit. Apalagi warna rajahnya beragam. 

[fas]
Sumber : Merdeka.com

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Seni Budaya Indonesia © 2011 | Template by Blogger Templates Gallery collaboration with Life2Work