Sejarah Drama di Indonesia

Seni Tari Dan Drama : Sejarah Drama di Indonesia

Sejarah Drama di Indonesia

A. Drama dan Teater
Istilah drama dan teater seyogianya dibedakan artinya. Drama dimaksudkan sebagai karya sastra yang dirancang untuk dipentaskan di panggung oleh para aktor di pentas, sedangkan teater adalah istilah lain untuk drama dalam pengertian yang lebih luas, termasuk pentas, penonton, dan tempat lakon itu dipentaskan. Di samping itu salah satu unsur penting dalam drama adalah gerak dan dialog. Lewat dialoglah, konflik, emosi, pemikiran dan karakter hidup dan kehidupan manusia terhidang di panggung. Dengan demikian hakikat drama sebenarnya adalah gambaran konflik kehidupan manusia di panggung lewat gerak.

B. Sejarah Perkembangan Drama di Indonesia
Sejarah perkembangan drama di Indonesia dipilah menjadi sejarah perkembangan penulisan drama dan sejarah perkembangan teater di Indonesia. Sejarah perkembangan penulisan drama meliputi: 

  • 1. Periode Drama Melayu-Rendah
  • 2. Periode Drama Pujangga Baru
  • 3. Periode Drama Zaman Jepang
  • 4. Periode Drama Sesudah Kemerdekaan
  • 5. Periode Drama Mutakhir.
Dalam Periode Melayu-Rendah penulis lakonnya didominasi oleh pengarang drama Belanda peranakan dan Tionghoa peranakan. 
Dalam Periode Drama Pujangga Baru lahirlah Bebasari karya Roestam Effendi sebagai lakon simbolis yang pertama kali ditulis oleh pengarang Indonesia. 
Dalam Periode Drama Zaman Jepang setiap pementasan drama harus disertai naskah lengkap untuk disensor terlebih dulu sebelum dipentaskan. Dengan adanya sensor ini, di satu pihak dapat menghambat kreativitas, tetapi di pihak lain justru memacu munculnya naskah drama
Pada Periode Drama Sesudah Kemerdekaan naskah-naskah drama yang dihasilkan sudah lebih baik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sudah meninggalkan gaya Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama yang produktif dan berkualitas baik adalah Utuy Tatang Sontani, Motinggo Boesye dan Rendra. Pada Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi sangat menonjol. Terjadi pembaruan dalam struktur drama. Pada umumnya tidak memiliki cerita, antiplot, nonlinear, tokoh-tokohnya tidak jelas identitasnya, dan bersifat nontematis. Penulis-penulis dramanya yang terkenal antara lain Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan Riantiarno.

C. Sejarah Perkembangan Teater di Indonesia
Istilah teater belum muncul di Indonesia pada tahun 1920-an. Istilah yang ada pada waktu itu adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda, Het Tonee)Istilah sandiwara konon diungkapkan kali pertama oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa sandi berarti rahasia, dan wara atau warah yang berarti pengajaran. Menurut Ki Hajar Dewantara, sandiwara berarti pengajaran yang dilakukan dengan perlambang (Harymawan, 1993:2). Pada masa itu, rombongan teater menggunakan nama Sandiwara sementara cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada zaman pendudukan Jepang dan permulaan zaman kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah zaman kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006:34).
Achmad (2006) menjelaskan bahwa sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut teater, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata cara di mana teater tradisional lahir. Beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia antara lain adalah wayang, wayang wong (wayang orang), mak yong, randai, mamanda, lenong, longser, ubrug, ketoprak, ludruk, ketoprak, gambuh, dan arja.
Perkenalan Indonesia dengan teater modern terjadi pada periode yang disebut sebagai teater transisi. Teater transisi adalah penamaan oleh kelompok teater pada periode tersebut di mana teater tradisional mulai mengalami perubahan karena adanya pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong sebagai kelompok teater tradisional namun dengan penggarapan teknis yang telah mengadopsi unsur-unsur teknik teater Barat dinamakan sebagai teater bangsawan. Perubahan tersebut terutama terlihat jelas pada cerita yang sudah mulai dituliskan meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan), cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi, dan teknik pendukung pertunjukan yang mulai diperhitungkan.
Teater tradisional juga memperoleh pengaruh dari teater Barat yang mulai dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada tahun 1805. Teater produksi orang-orang Belanda tersebut kemudian berkembang pesat di Betawi (Batavia) dan mendorong didirikannya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater nontradisi dimulai ketika Agust Mahieu mendirikan Komedi Stamboel di Surabaya pada tahun 1891. Dalam pementasannya, Komedi Stamboel secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa) yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sejarah sastra, Indonesia mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon pertama oleh orang Belanda, F. Wiggers, berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901, kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913) dan lain-lainnya yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Teater pada masa kesusastraaan Angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual pada masa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an.
Bentuk sastra drama yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antartokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Pujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana.
Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane, menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933). Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan, presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada masa pendudukan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya, masih sempat berpikir tentang perlu didirikannya Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi-kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno, dibentuk Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya (anggota). Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.
Kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang pada masa pendudukan Jepang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini, semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang antibudaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Miss Ribut, Miss Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda.
Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour, dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya, menulis lakon-lakon seperti Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti Komedi Bangsawan dan Bolero. Dengan cara ini, maka antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa, selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik.
Rombongan sandiwara Dewi Mada diperkuat oleh mantan bintang-bintang Bolero, yaitu Dewi Mada dan suaminya, Ferry Kok. Ferry Kok sekaligus menjadi pemimpin rombongan ini. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masih aktif di rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh. Hingga tahun 1943, rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia.

Perkembangan tahap awal
1. Kegiatan ritual keagamaan (bersifat puitis, melafalkan mantra-mantra).
2. Pemvisualan dalam bentuk tari dan musik.
3. Jenis tontonan, pertunjukan, hiburan tetapi cerita bukan masalah utama, cerita berupa mitos atau legenda. Drama bukan cerita tetapi penyampaian cerita yang sudah ada.
4. Dilakukan oleh kalangan tertentu karena sebagai kegiatan yang khidmat dan serius.
5. Kekaguman terhadap pemain karena sifat supernatural.
6. Cerita bersifat sakral, maka diperlukan seorang pawang ada persyaratan dan aturan ketat bagi pemain dan penonton tidak boleh melanggar pantangan, pamali, dan tabu.
7. Sebagai pelipur lara.
8. Sebagai sarana mengajarkan ajaran agama (Hindu, Budha, Islam).
9. Melahirkan kesenian tradisional. Ciri-ciri kesenian tradisional menurut Kayam 1981: 44 kesenian tradisional-termasuk didalamnya teater-yaitu bentuk kesenian yang yang hidup dan berakar dalam masyarakatdaerah yang memelihara suatu tradisi bidaya daerah, akan memiliki ciri-ciri ketradisionalan dan kedaerahan. Ciri-ciri kesenian tradisional, yang di dalam pembicaraan ini dimaksudkan sebagai teater tradisional, menurut Umar Kayam adalah:
a. Ruang lingkup atau jangkauan terbatas pada lingkungan budaya yang mendukungnya.
b. Berkembang secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban dari masyarakat tradisional.
c. Tidak spesialis.
d. Bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya.
10. Sebagai konsekuensi kesenian tradisional, teater tradisional mempunyai fungsi bagi masyarakat. Fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnyalah yang menyebabkan salah satu faktor mengapa teater tradisional ini tetap bertahan di dalam masyarakatnya. Fungsi teater tradisional sebagaimana kesenian lainnya bagi masyarakat pendukungnya adalah seperti dirumuskan berikut ini:
a. Sebagai alat pendidakan (topeng jantu dari Jakarta untuk nasehat perawinan/rumah tangga).
b. Sebagai alat kesetiakawanan sosial.
c. Sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial.
d. Alat melarikan diri sementara dari dunia nyata yang membosanakan.
e. Wadah pengembangan ajaran agama.
Sumber : Dari Berbagai Sumber

Comments
1 Comments

1 komentar:

  1. Miliana mengatakan...:

    suka banget baca sejarahnya

    EMI

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Seni Budaya Indonesia © 2011 | Template by Blogger Templates Gallery collaboration with Life2Work