Kalau Ketua Lima Gunung Disengat Tawon

Seni Tari Tradisional - Pentas Seni (Kalau Ketua Lima Gunung Disengat Tawon )

Oleh M. Hari Atmoko

Seseorang dengan sigap melepas tali kuda kepang yang melingkar di leher satu penari, sedangkan sejumlah lainnya memegang tubuh lelaki tua itu agar tidak terjerembab ke tanah karena telah kesurupan.
Tabuhan alat musik tradisional seperti tiga kenong dan masing-masing satu "truntung" dan "kecrek" terus dipukul lima seniman petani tua lainnya dari depan panggung pementasan tradisi "Bukaan Kesenian" pascalebaran 2012, Jumat (25/8).

Pergelaran itu dimulai satu jam sebelum azar di kawasan Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sajian pertama pada acara itu berupa pementasan tarian tradisional "Jaran Kepang Papat" yang khusus hanya dibawakan oleh empat seniman petani secara turun temurun di keluarga mereka di dusun setempat yang tergabung dalam komunitas "Andong Jinawi", pimpinan Supadi Haryanto (41).

Supadi yang setiap hari juragan sayuran hasil panenan petani setempat itu, saat ini juga menjabat Ketua Komunitas Lima Gunung, yang beranggotakan para seniman petani di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, Kabupaten Magelang.

Saat tarian "Jaran Kepang Papat" mulai mereka bawakan, cuaca langit di atas Gunung Andong tampak cerah dengan terpaan sinar matahari terasa hangat bercampur dengan udara sejuk kawasan gunung setempat.

Belum banyak penonton yang berkerubung di sekitar panggung pementasan beralas tanah dengan tenda cukup luas di halaman rumah warga setempat, di samping kanan rumah Ketua Komunitas Lima Gunung, Supadi Haryanto.

Sejumlah pedagang lainnya berasal dari berbagai desa setempat masih sibuk menyiapkan lapak dan berbagai dagangan berupa aneka makanan dan mainan anak-anak, di tepi jalan aspal yang tak lagi mulus di dusun setempat itu.

Pergelaran "Bukaan Kesenian" yang meriah dengan ratusan penonton itu berlangsung hingga sekitar pukul 23.00 WIB. Sejumlah kesenian tradisional yang dipentaskan antara lain "Jaran Kepang Papat", "Kuda Lumping", "Warok".

Selain itu, komunitas seniman petani setempat juga mementaskan karya kontemporer petani berupa tarian "Janthir" (Jaranan Kentir) dan dua lakon drama tari masing-masing "Penangsang Gugur" dan "Klanasewandana Krama".

Empat penari turun temurun "Jaran Kepang Papat" yang masing-masing tampak sudah berusia lanjut pada pementasan itu adalah Sabar Mujar, Sunoto, Sumarlan, dan Paidin, sedangkan penabuh tiga kenong adalah Kasmari Pasimin, Martono, Marno, "truntung" Jumeri, dan "kecrek" Suwar.

Seorang penari yang tiba-tiba kesurupan di saat puncak gerakan seni tarian tradisional itu adalah Sabar Mujar.

Mujar yang dalam pengaruh kesurupan pun dituntun sejumlah orang berjalan dari arena pementasan menuju garasi mobil pengangkut sayuran di rumah Supadi. Di depan meja yang diletakkan di pojok garasi itu telah penuh dengan aneka sesaji pementasan "Bukaan Kesenian" seperti kemenyan, kembang mawar merah dan putih, sejumlah minuman seperti air putih, teh dan kopi, kedelai goreng, kacang rebus, beragam jajan pasar, gula merah, daun sirih, air kembang, dan aneka daging.

Setelah menenggak segelas air putih dan sambil melanjutkan mengisap rokok keretek, jari kanan Mujar yang kesurupan itu mulai menunjuk beberapa sesaji. Seorang yang didampingi Supadi mengambilkan apa saja yang ditunjuk Mujar lalu memberikan kepadanya.

Kasmari Pasimin yang juga sesepuh lainnya di dusun setempat, terlihat berbisik di dekat telinga kiri Mujar. Ia terdengar menanyakan siapa danyang yang `manjing" kepada Mujar. Diperoleh informasi dari Kasmari bahwa sosok yang manjing itu mengaku diri bernama "Ki Ajar Windu" berasal dari kawasan yang disebutnya "Mbekuku", sekitar Gunung Merapi.

Supadi terlihat diminta menunjukkan dua lututnya dan Mujar kemudian membasuh kedua lutut itu dengan air kembang. Mujar yang kesurupan "Ki Ajar Windu" itu juga minta Supadi mencelupkan kedua tangan ke wadah berisi air kembang untuk kemudian airnya diusapkan di kepala sebanyak tiga kali.

Supadi juga meminum air kembang itu dan selanjutnya meletakkan beberap bagian dari sesaji tersebut di pojok rumahnya.

"Kira-kira maksudnya untuk penyembuhan dan agar tidak sakit lagi," kata Supadi setelah menjalani ritual itu.

Terasa lemas

Dia menceritakan bahwa dirinya tidak kuat lagi menyelesaikan rangkaian shalat Idul Fitri 1433 Hijriah, Minggu (19/8), di masjid kampung setempat.

Ketika itu, Ustadz Ahmad Thohir sedang berkutbah. Seluruh tubuh Supadi makin terasakan panas tinggi sehingga ia pun diam-diam "lengser" dari masjid itu, lalu sendirian berjalan dengan langkah perlahan kembali ke rumahnya.

Istrinya, Sutiah (34), dengan seorang tetangga yang juga satu anggota komunitas "Andong Jinawi", Dian Sutopo, mengantar Supadi ke Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga dengan mobil bak terbuka setelah selesai shalat Idul Fitri.

Mobil yang disopiri Sutopo itu, setiap hari biasa digunakan Supadi untuk mengangkut dagangan sayurannya ke Pasar Bandungan, Kabupaten Semarang. Jarak antara rumahnya di Mantran Wetan ke RSU Salatiga relatif lebih dekat ketimbang ke Magelang.

"Seumur-umur baru sekali ini saya sampai opname di rumah sakit karena memang selama ini tidak pernah merasa sakit. Makanya saya tidak betah sakit, apalagi harus rawat `nginap`. Dokter bilangnya tensi saya waktu itu sampai `45 derajat`," katanya.

Ketika itu, ia menjadi sadar bahwa saat merawat tanaman kubis di lahannya pada Sabtu (18/8) siang, ada binatang yang menyengat tengkuknya.

Ketika itu ia tak kemudian menghiraukan dan tetap bekerja di kebun kubisnya. Ia yakin hal itu adalah sengatan tawon, meskipun dokter di rumah sakit menduga sengatan nyamuk cikungunya.

Yang menjadikan bapak dari dua anak, Niawati (17) dan Ahad Widiantoro (6), itu heran sendiri adalah para tetangganya kemudian bagai mengalir, mendatangi paviliun rumah sakit, tempatnya menjalani rawat inap, untuk besuk.

Apalagi saat itu Hari Lebaran yang biasanya semua warga sekampung disibukkan dengan silaturahim dan halal bihalal kepada sanak keluarga dan tetangga di dusun itu maupun desa-desa tetangga.

"Selama dua hari saya terpaksa di rumah sakit, yang menengok itu sampai ratusan orang, setiap rombongan bisa 50 orang. Itu sampai jam 12.00 malam. Mereka juga membawa makanan `digelar` di depan paviliun untuk makan bersama. Setiap malam yang jaga saya ada 18 orang," katanya.

"Pak Satpam sampai mukanya cemberut karena orang-orang yang datang susah diatur. Ada yang dirawat di kamar sebelah, juga sampai-sampai minta pindah ruangan. Perasaan saya tidak karu-karuan," katanya.

Sejumlah anggota komunitas "Andong Jinawi" yang besuk pun, melalui kelakar mereka seakan ingin mengibur Supadi yang tergolek di tempat tidur perawatan.

"Sekali-kali juga harus merasakan di rumah sakit, tidak hanya mengantar orang sakit terus," kata Supadi ketika menirukan seorang kawannya berkelakar.

Lelaki itu memang selama ini dibilang para tetangga sebagai sosok yang "enthengan" atau mudah diminta tolong tetangga, dengan menggunakan mobilnya, mengantar para tetangga untuk berbagai keperluan termasuk ketika ada tetangga yang harus diantar ke rumah sakit.

Ia juga selama ini memimpin dengan baik anggota komunitas seniman petani setempat dalam menjalani gerakan kebudayaan tingkat lokal, melalui berbagai pementasan, termasuk bersama dengan anggota lainnya yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung.

Ia sengaja tidak ingin membuat heboh anggota Komunitas Lima Gunung terkait dengan keadaanya yang dirawat di rumah sakit, terutama saat Lebaran tahun ini.

Pilihan dirawat ke RSUD Salatiga ketimbang di RS di Magelang, antara lain untuk menghindari kawan-kawan lainnya di Komunitas Lima Gunung menjadi "gaduh", karena harus menyempatkan diri besuk dan meninggalkan kesibukan berhalalbihalal di dusun masing-masing.

"Wah kalau harus ke RS Magelang, saya juga merasa harus mengabari kawan-kawan Lima Gunung, makanya saya minta ke Salatiga saja," katanya seraya tersenyum-senyum.

Setelah badannya terasa mendingan, ia pun meminta "pulang paksa" kepada pihak rumah sakit. Pada Selasa (21/8) sore, pihak rumah sakit membolehkan Supadi pulang setelah pasien itu menitipkan sejumlah uang tanggungan untuk biaya selama perawatan.

Tiba di rumah, Supadi pun digelayuti heran lagi, karena ratusan orang telah berkerumun di rumahnya, menantikan kedatangan Sang Ketua Komunitas Lima Gunung itu yang pulang dari rumah sakit. Rupanya kabar kepulangannya telah menyebar di kampung dan dusun tetangga.

"Bahkan, para sesepuh dari empat desa yang biasa saya sowani setiap Lebaran, juga datang ke rumah, hilir mudik mereka untuk menengok. Saya masih heran-heran, saya ini siapa," katanya.

Ia pun kemudian memutuskan untuk segera menggelar tradisi pementasan "Bukaan Kesenian" pascalebaran. Kalender desa setempat itu sebagai pementasan yang wajib diselenggarakan masyarakat setempat dalam kurun waktu antara 1-15 Syawal, sehingga H+4 Lebaran 2012 atau pada Jumat (24/8), masih masuk kurun waktu tersebut.

Selain sebagai peristiwa tradisi wajib yang harus dilakoni masyarakat setempat setelah Lebaran, katanya, pementasan kesenian itu juga wujud syukuran masyarakat karena dirinya telah sembuh dari sengatan tawon yang berujung heboh masyarakat setempat.

Namun, ikhwal penting nampaknya menghinggapi Supadi dalam Lebaran tahun ini adalah kesadaran atas capaian hidup pribadinya hingga saat ini.

Anugerah alam dengan masyarakat dusun setempat telah memberangkatkannya menjadi figur petani gunung, dengan ketekunan hidup beraura kultur kepetanian. Dan, sengatan tawon itu menjadi "causa prima" atas kesadaran capaian hidup petani Supadi.

Sumber : Kompas.com
ANT

Editor :
Jodhi Yudono

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Seni Budaya Indonesia © 2011 | Template by Blogger Templates Gallery collaboration with Life2Work